Tepatnya lima tahun yang lalu, saya mencicipi sesuatu yang mereka sebut Linux. Saat itu belum genap dua tahun ketika saya pertama kali menyentuh benda yang dikenal sebagai Personal Computer. Tahun 2008 merupakan kali pertama saya menyandang gelar siswa baru disalah satu sekolah kejuruan di kabupaten Maros. Saya adalah salah satu dari sekian banyaknya siswa yang mungkin belum pernah merasakan nikmatnya jari jemari menari diatas keyboard selama hidupnya. Berbekal rasa penasaran dan sebuah laptop dengan spesifikasi pas-pas’an, sayapun berusaha mempelajari semuanya dari nol.
Saat itu sudah hampir setahun saya mengenyam pendidikan disana. Bagi orang awam seperti saya, tentu sangat antusias dengan berbagai pengetahuan baru yang saya dapatkan dari orang-orang sekitar. Seperti Linux yang tak sengaja dikenalkan oleh salah seorang guru saya waktu itu. Hari itu, Entah karena ada angin apa, si pak guru tiba-tiba saja menunjukkan sesuatu yang cukup asing bagi kami. Yah.. itu adalah Linux Ubuntu, sistem operasi yang katanya free dan open source, sistem operasi yang katanya bebas digunakan, bebas dikembangkan, bebas didistribusikan kembali tanpa perlu membayar royalti sepeserpun kepada pembuatnya. Dan sistem operasi yang katanya ‘susah’ untuk digunakan. Begitulah sekilas penjelasan si pak guru tentang Linux Ubuntu miliknya.
“yah kalo susah ngapain dipake. Mending Gak Usah pake Linux!” terdengar protes dari seorang temanku setelah mendengar penjelasan dari pak guru.
“dilaptop kamu pake sistem operasi apa?” tanya si pak guru.
“windows xp, pak!” jawab siswa yang tadi protes.
“windowsnya asli? Install dimana?” pak guru kembali bertanya.
“kayaknya bukan pak. Laptopku itu ku install bareng teman.” jawab temanku yang mulai bingung ditanyai seperti itu.
“gini.. harusnya untuk pake windows itu mesti bayar alias beli. Kalo gak bayar, artinya kalian pake produk bajakan. Dan itu artinya kalian juga mencuri produk orang, karena kalian menggunakan barang yang harusnya dibeli tanpa membelinya. Dan yang namanya mencuri itu pasti dosa. Artinya, setiap kali kalian pake windows bajakan, selama itu juga kalian berdosa. Satu keping CD windows itu mahal loh, sampe sejuta. Itupun untuk satu komputer saja. Emang kamu punya duit untuk beli?. Yah mending pake Linux saja. Daripada dosa kan ya?!” jelas pak guru yang baru saja memberi ceramah singkat dikelas.
Mendengar penjelasan pak guru, membuat saya tertarik untuk mencicipi Linux. Beberapa hari kemudian dengan bantuan beliau, saya dibimbing untuk memasang Linux Ubuntu 9.10 dilaptop. Memang Kedengarannya cukup aneh ketika pertama kali mendengar namanya. Bukan hanya nama, tampilan bahkan proses instalasinya pun cukup aneh bagi saya yang sudah terbiasa menggunakan windows. Suara bedug yang terdengar saat pertama kali login, tombol start dan taskbar yang berada di atas, wallpaper dan tema yang bernuansa coklat, dan hebatnya lagi adalah aplikasi-aplikasi yang sudah terpasang ketika baru saja selesai menginstall OS-nya. Ada beberapa hal lagi yang membuat saya terkesima ketika menggunakan Linux Ubuntu waktu itu. Seperti desktop yang full effect setelah menginstall compiz, menginstall aplikasi juga cukup mudah dengan menggunakan synaptic (sekarang sudah menggunakan Ubuntu Software Center), gak mempan dari infeksi virus yang menyerang windows, juga penggunaannya bebas tanpa harus dihantui rasa berdosa, dan masih banyak lagi keunikan yang dibawa oleh Linux.
Cukup susah memang bagi orang awam ketika baru saja bersentuhan dengan Linux. Apalagi bagi mereka yang memang dari kecil sudah sering berada didepan ‘jendela’. Maka tak heran jika sebagian dari mereka mengatakan “Gak Usah pake Linux. Ada yang simpel kok pakenya yang ribet”. Ingat, Linux yang dulu beda dengan yang sekarang. Linux 10 atau 15 tahun yang lalu mungkin memang sulit untuk mengoperasikannya. Namun kini tidak lagi. Kini Linux hadir dengan berbagai kemudahan-kemudahannya. Dan cobalah renungkan, jika anda berada diposisi sebagai si pembuat windows, apakah anda tidak merasa kecewa, ketika melihat orang-orang tanpa rasa bersalah menggunakan produk anda? Produk yang harusnya dibeli, malah digunakannya tanpa membelinya.
Ini persoalan etika dan saling menghargai karya orang lain. Tak perlu mengaitkannya ke persoalan agama yang sudah jelas-jelas tidak memperbolehkan. Saya menggunakan Linux sudah cukup lama. Awalnya memang ribet, tapi lama kelamaan saya sudah bisa karena terbiasa. Malah tugas-tugas kuliah yang dikerjakan dilingkungan windows oleh teman sekampus, justru saya kerjakan di Linux milik saya. Keperluan saya sehari-hari untuk berkomputasi pun sudah disediakan di Linux. Kesimpulannya, Kita hanya perlu membiasakan diri untuk bisa bermigrasi dari windows ke Linux, bermigrasi dari software close source ke software open source. Kita juga hanya butuh kesadaran untuk menghargai hasil kerja keras orang lain, apapun itu. Beralih menggunakan Linux dan open source-nya bukan berarti kita benci dengan windows yang mungkin kita anggap pelit karena tidak seperti Linux yang bebas. Tapi dengan beralih menggunakan Linux karya om Torvalds, itu artinya kita menghargai kerja keras om Bill dengan tidak membajak windows-nya. Linux hanya butuh pembiasaan dan kemauan untuk menggunakannya. Terlebih lagi sekarang sudah banyak sekali varian-varian Linux yang tersebar luas di internet secara bebas, yang dari segi tampilan dan penggunaannya mirip dengan windows, bahkan lebih keren dan lebih mudah dari windows. Entah itu distro Linux buatan Indonesia seperti IGOS Nusantara, Blankon, Medical Linux, atau buatan luar negeri seperti Zorin OS atau Deepin Linux yang sama-sama berasal dari Ubuntu. Sekali lagi saya tekankan, ‘Gak Susah pake Linux!’. Saya dan teman-teman pengguna Linux lainnya sebagai buktinya.
Wah, artikel yang bagus mas Adnan. Semoga menginspirasi bagi yang lain juga.
sudah terlena dengan windows, mulai windows 3.10 dari tahun berapa itu ya,, sampai saat ini. keinginan belajar linux sudah lama tapi kurang punya waktu.
ada masalah kalau satu harddisk 2 os windows dan linux ?
Iya, pengalaman pengguna memang yang nomor satu, Kang. Senang bisa melihat komentar pengguna Windows sejak 3.1 di sini. Mengenai satu harddisk 2 OS, bisa dan tidak masalah. Namanya dualboot. Saya pribadi pernah quadboot (satu harddisk 4 OS). Kenalan saya ada yang hexaboot (satu harddisk 6 OS). Semua lancar. Hanya saja, perlu banyak membaca tutorial kalau kita ingin melakukannya.
Susah? Kagak tuh. Cucuku yang masih klas 4 SD waktu
itu, aku ganti2x OS dari Mac, Linux dan Windows (bajakan untuk coba2x) gak ada soal, enak aja dia pakainya. Memang file2x nya aku simpan di partisi fat32, hingga bisa dibuka di 3 OS tadi. Sampai sekarang aku pakai Debian Wheezy.
iya,memang menyadarkan masyarakat itu sulit.apalagi sejak kecil masyarakat kita sudah dikenalkan dengan windows.jadi sulit beralih.