Dari Pentium III 500 Mhz Kisahku Dimulai

Berkenalan Dengan Xandros

Saya dan Linux memiliki kisah yang romantis, seperti kisah cinta sepasang remaja yang membara dan melodramatis. Barangkali terkesan sedikit melebih-lebihkan, tapi itulah yang saya rasakan ketika mengenang awal-awal saya berkenalan dan bermigrasi ke sistem Linux.

 

Saya mengenal Linux pertama kali waktu SMA sekitar tahun 2004 di warnet dekat sekolahan. Waktu itu saya belum terlalu paham mengenai Linux, namun saya cukup terkejut, sekaligus kagum dengan tampilan “Windows” yang dipakai di warnet tersebut. Setelah saya mengobrol dengan pengelola warnet, barulah saya tahu kalau ternyata sistem yang dipakai di warnet tersebut adalah sistem operasi Linux Xandros 3.0. Saya begitu excited hingga sering berkunjung ke warnet tersebut, hanya sekedar mencoba-coba sistem Linux yang ada. Namun, berhubung di rumah belum ada komputer, saya pun belum bisa mempelajari lebih lanjut sistem Linux, dan hanya terhenti pada sekedar tahu secara garis besar, itupun hanya pada interface Linux Xandros, yang waktu itu memang cukup populer sebagai Linux Desktop karena tampilannya yang cantik.

 

Kredit RAM, Hingga Pinjam Monitor

Perkenalan saya dengan Linux memasuki tahap yang lebih serius ketika saya menginjak bangku kuliah, tepatnya sekitar awal tahun 2007. Dengan dana yang pas-pasan, saya membeli sebuah mesin komputer Pentium III generasi awal dengan kecepatan 500 Mhz, dengan Harddisk 20 GB, dan memori 128 MB.

 

Karena sangat excited, begitu mendapatkan komputer, saya langsung mencoba Linux di komputer Pentium III milik saya tersebut. Saya masih ingat, distro pertama yang saya coba adalah Mandriva One 2007 KDE. Namun sayang, dengan memori 128 MB, komputer saya tidak sanggup menjalankan desktop Linux. Beruntunglah, ternyata terdapat 3 buah slot memori di motherboard komputer saya, dan beruntung juga, waktu itu saya memiliki seorang kawan kuliah yang memiliki usaha jual beli komputer dan komponen bekas.

 

Dengan modal nekat dan rasa penasaran yang kuat dengan Linux, saya pun memberanikan diri berhutang dua keping memori 128 MB untuk melengkapi memori yang sudah ada di komputer saya sebesar 128 MB. Akhirnya, alhamdulilah, saya memiliki mesin yang “cukup layak” untuk menjalankan Linux saat itu. Sebuah Intel Pentium III 500 Mhz, Memori 384 MB dan HDD 20 GB.

 

Perjuangan saya belum berakhir. Ketika saya hendak memasang Linux, ternyata Linux tidak tampil di komputer saya, dikarenakan monitor tabung milik saya hanya memiliki resolusi maksimal 800×600 piksel. Sementara, resolusi default Linux Mandriva One 2007 adalah 1024×768 piksel. Saya sangat kecewa dan geram, namun karena begitu tertarik dengan Linux, saya tidak kehabisan ide : pinjam monitor teman.

 

Alhamdulilah, teman kuliah saya memiliki komputer dengan monitor yang cukup bagus. Lalu saya pun meminjam untuk sementara monitor milik teman saya supaya saya bisa menjalankan LiveCD Mandriva One 2007, menginstalnya, dan kemudian setelah terinstal, resolusinya saya turunkan menjadi 800×600 piksel. Dan dengan sangat gembira, untuk pertama kalinya saya memiliki sebuah mesin Linux.

 

Dari openSUSE, Convert Koleksi MP3, Hingga Ubuntu

Tidak beberapa lama saya memakai Mandriva One 2007, saya langsung merasa bosan dan penasaran mencoba distro lain. Terutama sekali dengan meriahnya publikasi seputar Linux di majalah InfoLINUX kala itu. Setelah Mandriva, distro kedua yang saya coba adalah Kubuntu 6.06. Berkenalan dengan Kubuntu membuat saya kebingungan kala itu, karena semua koleksi MP3 milik saya tidak ada yang bisa diputar, dan saya juga tidak tahu bagaimana cara membuat Kubuntu mampu memutar MP3. Akhirnya, karena bingung, saya mengconvert semua koleksi MP3 milik saya ke format OGG menggunakan aplikasi converter di komputer milik teman saya yang masih memakai sistem Windows.

 

Setelah Kubuntu 6.06, saya berkenalan dengan openSUSE 10.2, yang waktu itu, karena tidak memiliki DVD ROM, saya harus memasang openSUSE melalui media 3 keping CD. Sistem openSUSE tidak bertahan terlalu lama, karena selain tidak bisa memutar multimedia, juga terasa cukup berat di komputer saya. Setelah itu, akhirnya saya mengenal Ubuntu 6.06 pemberian senior saya di bangku kuliah. Dengan desktop GNOME waktu itu, berjalan cukup lancar dan akhirnya Ubuntu menjadi Linux yang bertahan paling lama di komputer saya hingga saat ini.

 

Belajar

Apa yang benar-benar bisa saya petik dari pengalaman memakai Linux adalah belajar. Dengan Windows bajakan, semua berjalan lancar, nyaman dan aman (karena semua tugas bisa dikerjakan dengan mudah). Namun dengan Linux, saya mendapat lebih dari sekedar “bisa bekerja maksimal dengan komputer”, yaitu pengetahuan. Saya masih ingat, bagaimana awal mencoba memasang aplikasi pemutar MP3 di Ubuntu, dimana saya harus bolak-balik ke warnet karena masalah dependensi paket yang tidak juga kunjung penuh. Dan ketika akhirnya saya mampu menguasai sistem Linux dengan lancar, saya mendapat nilai ganda.

 

Bila diibaratkan membeli mobil, ketika saya memakai Windows, saya bisa menyetir. Namun ketika saya memakai Linux, saya bisa memperbaiki mesin dan tahu seluk-beluk mobil. Bisa meng-custom body hingga komponen-komponen spesifik. Dan demikianlah Linux bagi saya, mengasah keterampilan menggunakan komputer, tidak hanya sampai bagaimana mengoperasikan sistem dan software yang ada, tetapi juga bagaimana cara mengatasi beberapa kendala secara mendetail. Linux adalah universitas hidup.

 

Linux Di Lingkungan Kerja

Setelah mencoba berbagai macam distro Linux, baik lokal maupun luar, fokus saya saat ini adalah mendapatkan desktop Linux yang cepat dan efisien, namun masih tetap mudah dioperasikan untuk meng-handle pekerjaan sehari-hari. Pilihan saya saat ini jatuh ke distribusi turunan Ubuntu dengan desktop LXDE yaitu Lubuntu. Distro ini sangat ringan, namun tetap mudah dioperasikan untuk pekerjaan sehari-hari. Bahkan ketika saat ini saya memiliki mesin komputer yang mumpuni, saya tetap memakai Lubuntu sebagai distro utama, karena kecepatannya.

 

Demikian kisah saya bersama Linux. Bagaimana dengan anda ?

1 thought on “Dari Pentium III 500 Mhz Kisahku Dimulai

  1. Cobain distro linux Manjaro mas. Sama ringannya dengan Lubuntu, karena desktopnya XFCE. Bedanya tampilannya lebih bagus mas, flat. Distribusi paket softwarenya juga sangat lengkap, kalau langsung install online. Karena turunan Arch Linux. Komunitasnya rajin bikin paket kalau ada software baru. Termasuk Skype, Pencil Project, XAMPP, Brackets, Wine. UX OS nya juga simple dan mudah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *